Terbang

Belum lama ini aku berjalan-jalan di trotoar dengan anak laki-laki-ku yang baru berusia 2 tahun. Kami sama-sama asyik dengan pikiran masing-masing, tak saling bicara. Tiba-tiba aku merasa tanganku ditarik-tarik. Anakku menengadah menatapku sambil berseru, "Lari, Mommy, lari!"

Aku hampir-hampir ingin tertawa saat balas menatapnya. Dalam keadaan hamil 7 bulan aku hampir-hampir tak bisa berjalan cepat, apalagi berlari. Berbagai kegiatan yang biasanya kulakukan dengan mudah -misalnya bangkit dari kursi tanpa mengeluarkan tenaga- sudah menjadi masa lalu. Bahkan keluargaku pun terkejut melihat betapa besarnya perutku. Seorang temanku suka menggoda. Katanya bayi di perutku pasti bayi kembar.



Nicholas menraik-narik tanganku lebih keras dan mengulangi, "Lari, Mommy!"

Aku hendak menggeleng, tapi kemudian ragu, sudah berapa kali aku berkata "tidak" padanya belakangan ini?

  • Tidak Nicholas, kita tidak bisa bermain-main seperti itu - nanti bayinya sakit.
  • Tidak, Mommy tidak bisa main kuda-kudaan denganmu, punggung Mommy sakit terus sekarang.
  • Tidak Nicholas, Mommy tak mau mewarnai, Mommy mau istirahat.

Bulan-bulan kehamilan ini merupakan saat-saat pahit dan manis sekaligus. Aku sangat menyayangi anak yang akan lahir ini, dan bahagia setiap kali ia membuat gerakan menyikut dan menendang. Tapi terpikir olehku bahwa saat-saat ini juga saat-saat terakhir dalam masa kecil Nicky untuk dinikmatinya berdua saja denganku. Tak lama lagi ia mesti belajar berbagi-berbagi pangkuan Mommy, pelukan-pelukan Mommy, perhatian-perhatian Mommy.

Maka aku pun menatapnya. Benar-benar menatapnya. Kupandangi tangannya yang terulur. Gemuk. Montok. Sekonyong-konyong kusadari bahwa suatu hari nanti tangan itu akan lebih besar daripada tanganmu sendiri. Kutatap sepasang mata cokelatnya yang jernih, begitu bebas dari dunia orang dewasa yang penuh kekhawatiran. Sepasang mata itu berbinar-binar, begitu hidup begitu hidup dan penuh bersemangat.

Ingin kukatakan padanya, "Jangan pernah tumbuh dewasa, Nicky. Tetaplah menjadi si kecilku." Ia tampak begitu indah saat ini, hatiku perih.

Aku berlutut sejajar dengannya, meskipun sulit, tapi bisa kulakukan. Lalu sesaat aku mencoba berpikir seperti anak seusianya. Kita, orang dewasa, begitu sering merasa cemas - tentang uang, karir, dan tanggung jawab kita. Semua itu tak ada artinya bagi Nicky. Ia baru 2 tahun, dan ia ingin lari bersamaku, ibunya. Ini sesuatu yang berarti baginya. Dan, sekarang, aku pun merasakan arti pentingnya.

Kugenggam erat tangan mungilnya, "Ya Nicholas," kataku.

"Mommy akan lari bersamamu."

Ia menungguku berdiri. Lalu kami pun berlari. Kedua kakinya yang tegap berderap di trotoar, sementara aku berusaha mengimbanginya.

"Lari, Mommy, lari!"

Kami lari semakin cepat. Aku tertawa keras. Aku lupa akan punggungku yang sakit dan perutku yang besar. Aku lupa segalanya kecuali betapa aku menyayangi anakku. Walau aku tak bisa lari secepatnya, Nicholas tak pernah melepaskan tanganku dari genggamannya.

Seorang wanita berambut keperakan tersenyum hangat menatap kami. Mungkin kegembiraan kami menular, atau mungkin ia teringat anak laki-lakinya sendiri saat seusia Nicholas. Atau barangkali - hanya barangkali - ia melihat yang sesungguhnya terjadi. Sementara Nick dan kakiku sibuk berlari, hati kami sibuk terbang.

***

Sumber :
Chicken Soup for the Soul
Rumahku Istanaku